Di tengah modernitas, kepercayaan terhadap zodiak dan shio masih melekat kuat di beberapa budaya, termasuk di China. Hal ini bahkan berdampak pada dunia kerja, seperti kasus perusahaan Sanxing Transportation di Guangdong yang menolak pelamar dengan shio anjing.
Perusahaan tersebut membuka lowongan dengan gaji sekitar Rp 6,6-8,8 juta per bulan. Namun, persyaratan uniknya—melarang pelamar bershio anjing—menimbulka kontroversi besar. Alasan yang diberikan perusahaan adalah ketidakcocokan shio anjing dengan bos mereka yang bershio naga, berdasarkan kepercayaan tradisional.
Shio dan Kepercayaan Tradisional Tiongkok
Kepercayaan ini berakar pada astrologi Tionghoa, yang membagi tahun ke dalam 12 siklus shio, masing-masing dikaitkan dengan hewan tertentu. Dipercaya bahwa beberapa shio memiliki hubungan yang harmonis, sementara yang lain dianggap berlawanan. Shio naga dan anjing adalah salah satu pasangan yang dianggap berkonflik.
Konflik tersebut didasarkan pada elemen dan karakteristik yang diasosiasikan dengan masing-masing shio. Naga diasosiasikan dengan elemen air, kekuatan, dan keangkuhan, sementara anjing dikaitkan dengan elemen api, kesetiaan, dan kejujuran. Perbedaan ini, menurut kepercayaan tradisional, dapat menyebabkan ketidakharmonisan dan bahkan nasib buruk.
Lebih Jauh Mengenai Konflik Naga dan Anjing
Kepercayaan mengenai ketidakcocokan shio naga dan anjing juga meluas ke ranah percintaan dan bisnis. Dalam hubungan asmara, dipercaya bahwa pasangan dengan shio ini akan mengalami banyak konflik karena perbedaan sifat. Dalam bisnis, kerjasama antara keduanya dianggap rentan terhadap perselisihan dan ketidaksepakatan.
Meskipun demikian, feng shui menawarkan solusi untuk meredam konflik tersebut. Dipercaya bahwa penggunaan jimat keberuntungan dapat membantu menciptakan harmoni di tempat kerja bagi individu yang bershio naga dan anjing.
Reaksi Publik dan Implikasi Sosial
Keputusan perusahaan Sanxing Transportation telah menuai kecaman di media sosial. Banyak yang menganggap kebijakan tersebut diskriminatif dan tidak profesional. Penggunaan kepercayaan tradisional sebagai dasar perekrutan dinilai sebagai bentuk takhayul yang tidak relevan di dunia kerja modern.
Di sisi lain, beberapa komentar netizen justru berbagi pengalaman positif terkait penentuan karyawan berdasarkan shio. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dianggap sebagai takhayul, kepercayaan terhadap shio masih berpengaruh di beberapa lingkungan kerja di China.
Kesimpulan: Antara Tradisi dan Modernitas
Kasus ini menggarisbawahi pertarungan antara tradisi dan modernitas di China. Meskipun kepercayaan terhadap shio tetap kuat, penerapannya dalam proses perekrutan perusahaan menimbulkan pertanyaan tentang kesetaraan dan praktik kerja yang adil.
Kejadian ini juga mengundang diskusi tentang sejauh mana kepercayaan tradisional boleh mempengaruhi keputusan bisnis, dan bagaimana perusahaan dapat menyeimbangkan tradisi dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan profesionalisme di tempat kerja.
Perlu diingat bahwa ini hanyalah satu kasus dan tidak merepresentasikan seluruh praktik perekrutan di China. Namun, kasus ini menjadi pengingat penting mengenai kompleksitas budaya dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia kerja.